1.
difinisi
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari
kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang
bermakna al-Jamâl (الجمال):
kecantikan, keindahan.
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama hadits mengingat kedudukan hadits hasan di tengah-tengah
antara Shahîh dan Dla’îf. Berikut ini difinisi yang disampaikan
oleh para ulama;
Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang
diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi
kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para
ulama dan mayoritas ulama
fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang
diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta,
hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang
kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut
kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya,
[Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang
diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya
bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah
yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya
ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan
secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
2.
Hukum penggunaan
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan
hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits
Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah. Sama
hal-nya, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah.
Pembagian hadits hasan lebih dikuatkan oleh ulama-ulama yang dikenal keras
(al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih lunak (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke
dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah
namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang
sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)
3.
Contoh hadits hasan
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata,
“Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman
adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar
bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada
di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya
pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan
at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
4.
Tingkatan Hadits Hasan
Sebagaimana hadits Sahih yang memiliki tingkatan-tingkatan.
Demikian juga hadits hasan memiliki tingkatan seperti pendapat dari ad-Dzahaby
menjadikan hadits hasan menjadi dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
5.
Makna ungkapan ulama
terhadap hadits
Jika ulama menyatakan : “Ini adalah hadits yang Hasan
sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan”
karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya
akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits jika berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Seorang ahli hadits jika berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
pahami juga, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Ungkapan “Hadits hasan sahih”, ungkapan seperti ini
agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy,
ungkapan “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila
ditinjau dari sisi sanad yang lain.” Atau “Hasan menurut sekelompok ulama dan
Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Disini Ibn
Hajar ingin memberikan pemahaman adanya perbedaan pandangan di kalangan para
ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang
dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Dalam Kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam
al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada
hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah
satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di
dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan
at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan
isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits
sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan,
Dla’îf dan Munkar.
Dari sini, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan
akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh
as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam
al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan
ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
6.
Kitab yang berisi hadits
hasan
-
Kitab Sunan Abi Dâ`ûd.
Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya
kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang
sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat
sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia
hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits
di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama
terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
-
Kitab Jâmi’ at-Turmudzy
atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang
merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah
orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang
paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa
terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau,
“Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan
hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah
dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar