Sejarah Perkembangan Tarekat di Indonesia pada Abad
20 M
Berbicara tentang perkembangan
tarekat di Indonesia, tentu tidak akan bisa lepas dari
agama islam berasal. Islam berasal dari jazirah Arab
dibawa oleh Rasulullah, kemudian diteruskan oleh Khulafa ar-Rasyidin dan
mengalami perkembangan yang pesat. Penyebarluasan Islam ini bergerak ke seluruh
penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Sebenarnya membicarakan tarekat, tentu tidak bisa terlepas dengan tasawuf
karena pada dasarnya Tarekat itu sendiri bagian dari tasawuf. Di dunia Islam
tasawuf telah menjadi kegiatan kajian keislaman dan telah menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Landasan tasawuf yang terdiri dari ajaran nilai,
moral dan etika, kebajikan, kearifan, keikhlasan serta olah jiwa dalam suatu
kehkusyuan telah terpancang kokoh. Sebelum ilmu tasawuf ini membuka pengaruh
mistis keyakinan dan kepercayaan sekaligus lepas dari saling keterpengaruhan
dengan berbagai kepercayaan atau mistis lainnya. Sehingga kajian tasawuf dan
tarekat tidak bisa dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksananya di lapangan.
Selanjutnya, perkembangan tasawuf dan tarekat di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pesantren. Tetapi tidak semua pesantren menjadi pusat pengembangan tarekat. Di Jawa, hanya ada empat pesantren yang tergolong sebagai pusat perkembangan tarekat, satu diantaranya Pondok pesantren Suryalaya, yang artinya "tempat matahari terbit". Sebuah pesantren di Kampung Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sudah berumur lebih dari 90 th. Pesantren yang didirikan oleh Syeh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad, bergelar Mbah Sepuh, sejak berdiri memang diarahkan menjadi pusat pengembangan Tariqat Qadiriah dan Naqsyabandiah. Dua buah tarekat ini pada penghujung abad 20 banyak diamalkan di Turki, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Keduanya adalah tarekat mu'tabarah, yakni tarekat yang diakui kebenarannya bersumber dari Quran dan Hadis.
pesantren. Tetapi tidak semua pesantren menjadi pusat pengembangan tarekat. Di Jawa, hanya ada empat pesantren yang tergolong sebagai pusat perkembangan tarekat, satu diantaranya Pondok pesantren Suryalaya, yang artinya "tempat matahari terbit". Sebuah pesantren di Kampung Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sudah berumur lebih dari 90 th. Pesantren yang didirikan oleh Syeh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad, bergelar Mbah Sepuh, sejak berdiri memang diarahkan menjadi pusat pengembangan Tariqat Qadiriah dan Naqsyabandiah. Dua buah tarekat ini pada penghujung abad 20 banyak diamalkan di Turki, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Keduanya adalah tarekat mu'tabarah, yakni tarekat yang diakui kebenarannya bersumber dari Quran dan Hadis.
Pada abad ke-20, Tarekat berkembang di
Negara Afrika lainnya seperti Senegal, Mauritania, Genia, Nigeria, dan Gambia,
bahkan sampai masuk ke Arab Saudi dan Indonesia. Masuknya Tarekat Tijaniyah ke
Indonesia tidak diketahui secara pasti. akan tetapi pada awal abad ke-20
(antara 1918 dan 1921 M) Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia,
dan Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah. Ada
2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu
pertama, kehadiran Syaikh Ali bin
Abdullah at-Thayyib. Dengan kehadiran Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib ke
pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada
awal abad ke-20 M. Menurut Pijper,
Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib datang pertama kali ke Tasikmalaya
untuk menyebarkan Tarekat Tijaniyah, Akan tetapi sebelum tahun 1928 Tarekat
Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau jawa.
Dan kedua, adanya
pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Perkembangan tarekat
Tijaniyah di Cirebon mulanya berpusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada
Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima
bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat
sebagai ketua Yayasan dan sesepuh Pesantren dan KH Anas sebagai adik
kandungnya. Atas perintah KH Abbas pada 1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk
mengambil talqin tarekat Tijaniyah dan bermukim disana selama 3 tahun. Pada
bulan Muharram 1346 H / Juli 1927 M. KH Anas kembali pulang ke Cirebon.
Kemudian, pada bulan Rajab 1346 H / Desember 1927, atas izin KH Abbas kakaknya,
KH Anas menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH Anas-lah yang merintis dan
memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H Anas mengambil talqin dari
Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula menganut tarekat
Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada tarekat Tijaniyah
dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah at-Thayyib yang juga
mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.
Selanjutnya
Mengenai ajaran-ajaran Tarekat ini, pada dasarnya hampir sama dengan
tarekat-tarekat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu pendekatan kepada Allah
melalui Dzikir. Ajaran Tarekat ini cukup sederhana , yaitu perlu adanya
perantara (wasilah) antar manusia dan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya
sendiri dan para pengganti/wakil. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti
guru-guru lain yang manapun, bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali
dimanapun selain dirinya. Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat
Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, Istihgfar, Shalawat, dan
Hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya
mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara
terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah SWT melalui zikir terhadap
zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah. Zikir tersebut mencakup dua
bentuk, yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir bi al-Qalb. Adapun
bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu, Wirid
Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang
wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi
ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni
Wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak
menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Wajibah
ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu: Wirid Lazimah, Wirid Wadzifah, dan Wirid
hailalah.
Akan tetapi, kehadiran tarekat
tijaniah di Indonesia juga menimbulkan pertentangan diantara para ahli tarekat
di Indonesia. Antara tahun 1928-1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet-
pamflet yang berisikan tuduhan-tudduhan para penentang Tijaniyah. Sementara
itu, tahun 1930 terjadi pula perselisihan antara pesantren Buntet dengan
pesantren Benda Kerep yang anti Tijaniyah walaupun keduanya masih mempunyai
hubungan keluarga. pada tahun yang sama, Syeikh Ahmad Ghanaim, guru dari Mesir
datang ke Jawa Timur dan menyerang Tarekat Tijaniah dengan alasan bahwa
penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga.
Beberapa hal yang menyebabkan polemik dalam tarekat Tijaniyah ini adalah sebagai berikut:
1. Talqin Syeikh Ahmad Tijani.
Beberapa hal yang menyebabkan polemik dalam tarekat Tijaniyah ini adalah sebagai berikut:
1. Talqin Syeikh Ahmad Tijani.
2. Kedudukan Syeikh Ahmad Tijani sebagai wali terakhir.
3. Keistimewaan Tijaniyah dan pengamalnya yang bila
mengamalkan tarekat ini tidak akan masuk neraka selamanya, semua anak-anaknya,
kedua orang tua dan istrinya turut bersama masuk surga.
Polemik tentang Tarekat Tijaniyah
ini pernah di bahas dalam muktamar NU dan seminar Tarekat Tijaniyah di Cirebon.
NU pernah membahas Tarekat Tijaniyah dalam dua kali mukhtamar, mukhtamar III
dan VI. Kedua mukhtamar itu melahirkan beberapa keputusan, antara lain:
a) Tarekat Tijaniyah memiliki sanad Muttashil pada
Rasulullah bersama Ba’iah barzakhiyahnya.
b) Taekat Tijaniyah dianggap sebagai Tarekat yang sah dalam
islam.
c) Semua Tarekat mukhtabarah tidak ada perbedaan antara satu
sama lain.
Perkembanga tarekat ini pada
akhirnya bukan hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar
Cirebon. Seperti Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar