Senin, 10 Februari 2014

PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA PADA ABAD 20 M


Sejarah Perkembangan Tarekat di Indonesia pada Abad 20 M

Berbicara tentang perkembangan tarekat di Indonesia, tentu tidak akan bisa lepas dari agama islam berasal. Islam berasal dari jazirah Arab dibawa oleh Rasulullah, kemudian diteruskan oleh Khulafa ar-Rasyidin dan mengalami perkembangan yang pesat. Penyebarluasan Islam ini bergerak ke seluruh penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Sebenarnya membicarakan tarekat, tentu tidak bisa terlepas dengan tasawuf karena pada dasarnya Tarekat itu sendiri bagian dari tasawuf. Di dunia Islam tasawuf telah menjadi kegiatan kajian keislaman dan telah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Landasan tasawuf yang terdiri dari ajaran nilai, moral dan etika, kebajikan, kearifan, keikhlasan serta olah jiwa dalam suatu kehkusyuan telah terpancang kokoh. Sebelum ilmu tasawuf ini membuka pengaruh mistis keyakinan dan kepercayaan sekaligus lepas dari saling keterpengaruhan dengan berbagai kepercayaan atau mistis lainnya. Sehingga kajian tasawuf dan tarekat tidak bisa dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksananya di lapangan.
Selanjutnya, perkembangan tasawuf dan tarekat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pesantren. Tetapi tidak semua pesantren menjadi pusat pengembangan tarekat. Di Jawa, hanya ada empat pesantren yang tergolong sebagai pusat perkembangan tarekat, satu diantaranya Pondok pesantren Suryalaya, yang artinya "tempat matahari terbit". Sebuah pesantren di Kampung Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sudah berumur lebih dari 90 th.
Pesantren yang didirikan oleh Syeh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad, bergelar Mbah Sepuh, sejak berdiri memang diarahkan menjadi pusat pengembangan Tariqat Qadiriah dan Naqsyabandiah. Dua buah tarekat ini pada penghujung abad 20 banyak diamalkan di Turki, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Keduanya adalah tarekat mu'tabarah, yakni tarekat yang diakui kebenarannya bersumber dari Quran dan Hadis.
Pada abad ke-20, Tarekat berkembang di Negara Afrika lainnya seperti Senegal, Mauritania, Genia, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai masuk ke Arab Saudi dan Indonesia. Masuknya Tarekat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. akan tetapi pada awal abad ke-20 (antara 1918 dan 1921 M) Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia, dan Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah. Ada 2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu

pertama, kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah at-Thayyib. Dengan kehadiran Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M. Menurut Pijper,  Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib datang pertama kali ke Tasikmalaya untuk menyebarkan Tarekat Tijaniyah, Akan tetapi sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau jawa.

Dan kedua, adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon mulanya berpusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya. Atas perintah KH Abbas pada 1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin tarekat Tijaniyah dan bermukim disana selama 3 tahun. Pada bulan Muharram 1346 H / Juli 1927 M. KH Anas kembali pulang ke Cirebon. Kemudian, pada bulan Rajab 1346 H / Desember 1927, atas izin KH Abbas kakaknya, KH Anas menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH Anas-lah yang merintis dan memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H Anas mengambil talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula menganut tarekat Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada tarekat Tijaniyah dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah at-Thayyib yang juga mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.

Selanjutnya Mengenai ajaran-ajaran Tarekat ini, pada dasarnya hampir sama dengan tarekat-tarekat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu pendekatan kepada Allah melalui Dzikir. Ajaran Tarekat ini cukup sederhana , yaitu perlu adanya perantara (wasilah) antar manusia dan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain yang manapun, bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali dimanapun selain dirinya. Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, Istihgfar, Shalawat, dan Hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah SWT melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir bi al-Qalb. Adapun bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu, Wirid Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni Wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Wajibah ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu: Wirid Lazimah, Wirid Wadzifah, dan Wirid hailalah.

Akan tetapi, kehadiran tarekat tijaniah di Indonesia juga menimbulkan pertentangan diantara para ahli tarekat di Indonesia. Antara tahun 1928-1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet- pamflet yang berisikan tuduhan-tudduhan para penentang Tijaniyah. Sementara itu, tahun 1930 terjadi pula perselisihan antara pesantren Buntet dengan pesantren Benda Kerep yang anti Tijaniyah walaupun keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. pada tahun yang sama, Syeikh Ahmad Ghanaim, guru dari Mesir datang ke Jawa Timur dan menyerang Tarekat Tijaniah dengan alasan bahwa penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga.
Beberapa hal yang menyebabkan polemik dalam tarekat Tijaniyah ini adalah sebagai berikut:
1. Talqin Syeikh Ahmad Tijani.
2. Kedudukan Syeikh Ahmad Tijani sebagai wali terakhir.
3. Keistimewaan Tijaniyah dan pengamalnya yang bila mengamalkan tarekat ini tidak akan masuk neraka selamanya, semua anak-anaknya, kedua orang tua dan istrinya turut bersama masuk surga.
Polemik tentang Tarekat Tijaniyah ini pernah di bahas dalam muktamar NU dan seminar Tarekat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Tarekat Tijaniyah dalam dua kali mukhtamar, mukhtamar III dan VI. Kedua mukhtamar itu melahirkan beberapa keputusan, antara lain:

a)      Tarekat Tijaniyah memiliki sanad Muttashil pada Rasulullah bersama Ba’iah barzakhiyahnya.

b)      Taekat Tijaniyah dianggap sebagai Tarekat yang sah dalam islam.

c)      Semua Tarekat mukhtabarah tidak ada perbedaan antara satu sama lain.

Perkembanga tarekat ini pada akhirnya bukan hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar Cirebon. Seperti Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis.

Tidak ada komentar: