DASAR KONSEP BERUSAHA
1.
Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh
manusia –jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja- untuk hanya
mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak
mengikuti langkah-langkah syaitan –dengan mengambil yang tidak halal dan tidak
baik.
”Hai sekalian manusia,
makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah 168)
Oleh karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan
manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi
materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara
pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai
ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai
dengan sabda Rasulullaah SAW:
Sesungguhnya perkara
halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia
telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya…. ……Ingat!
Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik
pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak
lain ia adalah hati” (Hadits)
Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu
jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan
hati manusia itu sendiri, bila hatinya jernih maka segala yang halal akan
menjadi jelas. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak halal –termasuk yang
syubhat – tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi
bagian dari hasil usaha.
2.
Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho
sama ridho karena saling memberi manfaat.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)
Kemudian Allah SWT
memerintahkan kepada orang yang beriman –jadi bukan kepada seluruh manusia-
agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan
perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama
ridho. Jalan perniagaan itu sendiri mungkin sudah cukup jelas, namun kaidah
‘berlaku secara ridho sama ridho’ –bukan sekedar ‘suka sama suka’- mungkin
tidak terlalu jelas. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah
mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang
dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW
bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian ini? Orang itu
menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu sha`
dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda:
Janganlah berbuat begitu, tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah
ini (kurma Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma
Khaibar) tadi.
Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus mengikuti
penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian yang dilakukan (oleh
masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan penilaian yang adil.
Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’
yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui
mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut
sebagai uang.
3.
Fungsi Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi.
Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi
sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam
Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna
namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri
seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk
merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat
merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh
karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau
perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.
Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak
menerbitkan uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan
uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar
yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan
suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi
ditentukan oleh tingkat produksi di negara tersebut dan kemampuan untuk
memperoleh neraca perdagangan yang positif.”
Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar
nilai, maka uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran uang
sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan
dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena
perniagaan akan mengalami hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang
dibuat dari emas dan perak, maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:
Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).
4.
Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan
menghindari resiko yang melebihi kemampuan.
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu –termasuk kepada pihak
yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan takwa.
“Hai orang-orang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah
karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)
Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan
berbuat kebajikan dimana berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)
Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling
mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).
“..Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al
An’am:152)
“Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan
melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7,8,9)
Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu
berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena
itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu –bahkan ‘sekedar’ membawa
suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau
gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air,
karena pandangan pada segala sesuatu yang berada dalam air akan terbias dan
dapat menimbulkan keraguan yang menipu.
Wahai manusia,
sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu
kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena)
seorang penipu (al gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)
“Janganlah kalian
membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)
Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk
mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut.
Walaupun resiko tersebut mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun
bila probabilita untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung
kerugian tersebut maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan
yang lebih dari keperluan sehingga harus difikirkan dengan matang.
Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat
keduanya,
Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari
keperluan, demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu
berfikir.(Q.S. Al Baqarah:219)
5.
Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai
khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha Islam
mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan
akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara ridho sama ridho, disepakati
oleh semua fihak terkait.
“Hai orang-orang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)
“Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf
: 33)
“Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah
sebagai saksimu..” (Q.S.
An Nahl:91)
6. Manusia harus bekerjasama untuk
memenuhi kebutuhan.
Manusia memang
ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan, dimana sebagian diantaranya
diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain, dengan tujuan agar manusia
dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih baik.
“Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az Zukhruf :32)
Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa “Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh kebutuhan
hidupnya. Semua manusia harus bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan hidup
dalam peradabannya.” Lebih lanjut Ibnu Khaldun juga menerangkan akan hasil
kerjasama yang sekarang kita sebut synergy, sebagai berikut: “Hasil kerjasama
sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat dari jumlah
mereka sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar