SISTIM EKONOMI SYARIAH
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara
sistim ekonomi konvensional dengan Sistim Ekonomi Islami atau yang lebih
dikenal di Indonesia sebagai Sistim Ekonomi Syariah. Menurut Alfred Marshall (1842-1924),
“Economics is a study of mankind in the ordinary business life”. Sebagaimana
telah diterangkan di atas, menurut syariah Islam “Ekonomi adalah ilmu untuk
menggunakan sumber daya yang diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah Allah
SWT di muka bumi dalam menjalankan tugas manusia sebagai abdi Allah SWT.”
Dalam sudut pandang sistim ekonomi
konvensional, seperti yang disampaikan oleh Samuelson, “Economics is the study
of the use of scarce resources to satisfy unlimited human wants”. Jadi menurut
sistim ekonomi konvensional terdapat kelangkaan dari sumber daya yang
diperlukan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. Sehingga
timbul pilihan-pilihan atas penggunaan sumber daya yang bisa dimiliki.
Akibatnya timbul kemungkinan penggunaan sumber daya dalam suatu kegiatan
(produksi) dan menghasilkan konsep opportunity cost. Samuelson tidak
menggunakan istilah ‘needs’ tetapi menggunakan istilah ‘wants’ untuk
menandaskan ketidak terbatasan dari keinginan manusia.
Sedangkan dalam sudut pandang Islam, Allah
SWT telah menyediakan sumber daya secara cukup dan seimbang bagi kebutuhan
manusia.
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan
menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran (yang seimbang). Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi
keperluan-keperluan hidup (ma’aayisya), dan (Kami menciptakan pula)
mahluk-mahluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. Dan tidak
ada sesuatupun melainkan dari sisi Kami-lah sumbernya, dan Kami tidak
menurunkannya kecuali sesuai dengan kadar yang (Kami) ketahui.” (Al Qur’an surat Al Hijr ayat 19 – 21)
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah
telah memudahkan bagimu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir bathin.” (Al Qur’an surat Luqman ayat 20)
Kemudian menurut pandangan Islam, kebutuhan
manusia adalah tertentu (terbatas) dimana Islam mengenal pembedaan
(differenciation) antara kebutuhan (al-haajat), keinginan (al-raghbat) dan
rangsangan jiwa (al-syahwat). Al haajat adalah sesuatu yang secara mendasar
perlu dipenuhi untuk mencapai fitrah manusia, sehingga bila tidak dipenuhi akan
mengganggu keseimbangan hidup sebagai manusia. Sedangkan al-raghbat adalah
sesuatu yang diharapkan dipenuhi untuk mencapai kepuasan yang luas. Dan
al-syahwat adalah hasrat untuk segera memenuhi keinginan nafsu (jiwa).
Untuk membedakan ketiga hal tersebut, Islam
memberikan kaidah-kaidah dasar sebagai alat saring (screening) yang oleh Imam
Ghazali didefinisikan sebagai ‘Maqashid asy-Syariah’. Alat saring atau
yang disebut oleh Umer Chapra sebagai mekanisme filter dalam Islam adalah
berlandaskan keimanan dan keihsanan yang memberikan motivasi untuk berbuat adil
karena berharap mendapat pahala di akhirat.
Ibnu Khaldun menerangkan timbulnya keinginan
(wants) sebagaimana yang disampaikan oleh Samuelson sebagai berikut: “Bila
pekerjaan penduduk sebuah kota
dibagi bagikan semua sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan penduduk itu, maka
hasilnya akan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Kelebihan tersebut akan
dikeluarkan untuk kemewahan dan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-kota
lain. Para penduduk akan saling mengambil
barang-barang yang mereka butuhkan dan yang mereka kehendaki dari penduduk yang
memiliki surplus melalui tukar-menukar atau jual-beli. Maka penduduk yang
memiliki surplus akan mendapat bagian yang baik dari kekayaan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar