Jumat, 07 Februari 2014

peran dan konsep manusia dalam menjalankan ekonomi islam serta syari'at


KONSEP PERAN MANUSIA

Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus difahami peran (dan tugas) manusia di dunia. Allah SWT telah berfirman dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56:

Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.

Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha. 

Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman dalam surat Al Baqarah ayat 30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

dan surat Al A’raf ayat 128:

“Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”

Karena itu semua tindakan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah SWT untuk memanfaatkan bumi yang telah dipusakakan kepada manusia untuk sebanyak-banyak manfaat dan maslahat bagi manusia, sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

KONSEP SYARIAT

Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan manusia disebut sebagai syariat yang artinya adalah jalan atau hukum/aturan. Menurut Imam Ghazali, tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan (aqidah), kehidupan, akal, keturunan dan harta benda (mal) mereka. Segala sesuatu yang menjamin terlindungnya kelima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan oleh karenanya dikehendaki oleh manusia.

Pendapat ahli fikir Islam ini sangat baik untuk dijadikan panduan dalam menentukan prioritas hidup. Urutan kelima perkara yang dikemukakan oleh Imam Ghazali pantas menjadi urutan prioritas hidup. Keimanan atau aqidah haruslah selalu menjadi prioritas utama. Segala sesuatu yang dapat mengganggu apalagi sampai mengurangi keimanan haruslah ditinggalkan. Kemudian kehidupan haruslah didahulukan daripada akal, atau hasil penalaran akal tidak boleh dipakai untuk mengganggu nilai kehidupan. Dan selanjutnya keturunan dan harta benda tidak boleh membuat manusia kehilangan akal.

Itulah sebabnya cita-cita manusia haruslah untuk menegakkan agama Allah – agama Islam – serta semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, kepada siapa manusia mengabdi. Contoh yang paling sempurna tentunya adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang rasul cita-cita Nabi Muhammad adalah berdakwah untuk menegakkan agama Islam, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Demi Allah, seandainya mereka meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan da’wah ini, tak akan aku tinggalkan hingga Allah SWT memenangkan agama ini atau aku binasa tanpa agama”

Ahli fikir Islam, Ibnu Qayyum juga menyatakan bahwa orang yang tinggi cita-citanya hanya menggantung segala urusannya kepada Allah, tidak mengharapkan sesuatu balasan kecuali ridha Allah. Tingkah laku dan etika yang menghiasi pribadinya menjadi dasar dalam berda’wah yang tidak ditukar dengan sesuatu yg merusak kepribadiannya. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam akan menentukan kepribadian seorang muslim yang tentunya akan tercermin dalam tingkah lakunya sehari-hari, termasuk tingkah laku dalam berusaha dan dalam menghadapi tantangan hidup di dunia.

Tidak ada komentar: