Jumat, 07 Februari 2014


PERUSAHAAN DALAM SISTIM EKONOMI SYARIAH

Menurut Islam, kepemilikan atas sumber daya adalah bersifat sementara dan merupakan amanat dari Allah SWT. Amanat ini diberikan dalam status manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Bukan hanya kepemilikan atas sumber daya yang bersifat sementara, bahkan keuntungan yang diperoleh seseorang tidaklah selalu menjadi rezeki (hak) dari orang yang diberi kepemilikan tersebut.

Dalam hal ini Ibnu Khaldun menyatakan :”Keuntungan adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, namun keuntungan juga bisa datang tidak dengan usaha sebagaimana hujan menumbuhkan tanaman, dan lain sebagainya. Keuntungan akan merupakan penghidupan bila sesuai dengan kadar kepentingan dan kebutuhan manusia yang memperolehnya. Keuntungan akan merupakan ‘akumulasi modal’ bila ia lebih dari kadar kebutuhannya. Keuntungan (baik yang tergolong penghidupan maupun akumulasi modal) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (masa kini maupun masa mendatang) disebut rezeki, sedangkan kelebihan dari keuntungan yang tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan (sehingga mubazir) adalah bukan rezeki.”

 Menurut Islam, kegiatan produksi dalam memanfaatkan sumber daya untuk memberikan hasil produksi yang berguna untuk memenuhi haruslah berbasis pada pemanfaatan yang berkesinambungan dari sumber daya tersebut. Dalam hal ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa: “Pertanian adalah dasar (pelopor) bagi penghidupan karena yang paling sesuai dengan alam. Pertukangan adalah penghidupan yang kedua karena timbul dari hasil pikiran dan keahlian manusia. Perdagangan adalah termasuk cara penghidupan yang wajar karena ia berusaha menghubungkan antara hasil dan kebutuhan dengan mengambil keuntungan dari perbedaan antara harga pembelian dan penjualan. Jasa pelayanan bukanlah termasuk jalan penghidupan yang wajar dan alami, tetapi ia dibutuhkan karena ketidak mampuan sebagian dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.”

 Jelaslah bahwa kebutuhan akan jasa pelayanan timbul karena ketidak mampuan sebagian dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik karena secara total manusia tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (misalnya karena cacat, atau kebutuhan makanan dan tempat tinggal selama dalam perjalanan) ataupun karena manusia tersebut memusatkan perhatian (fokus) pada suatu aspek kehidupan agar dapat mencapai tingkat produksi yang optimal. Sehingga timbul defisiensi pada salah satu aspek pemenuhan kebutuhannya yang harus dipenuhi dengan memakai jasa pihak lain. 

 Tetapi disamping itu kebutuhan akan jasa pelayanan juga timbul karena keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang dapat dikerjakannya (kemewahan), walaupun untuk itu ia harus menggantinya dengan sesuatu yang berharga. Misalnya kebutuhan untuk menikmati makanan yang enak, perjalanan yang nyaman, tempat pertemuan yang nyaman, pakaian dengan model yang bagus, dsb.

 Karena manusia memang diperintahkan untuk saling memanfaatkan kelebihan yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT kepada sebagian yang lain, maka timbul kebutuhan untuk berserikat. Perserikatan tersebut kemudian akan mengadakan transaksi dengan pihak lain sehingga perserikatan tersebut harus menggantikan peran manusia dan oleh karenanya harus menjadi ‘badan’ yang dapat bertindak mengadakan ikatan (hukum) atau yang disebut sebagai badan hukum. Badan hukum ini yang akan menerima manfaat (positif atau negatif) dari transaksi yang dilakukan untuk kemudian meneruskan hasilnya kepada pihak-pihak yang berserikat dalam badan hukum tersebut.

 Pada dasarnya menurut Islam, perserikatan antar menusia dapat dikelompokkan dalam:

 Perserikatan antar pihak-pihak dimana masing-masing memberikan modal dan tenaga serta sepakat untuk membagi tanggung jawab dan hasil menurut ketentuan tertentu. Perserikatan ini lazimnya berbentuk ‘Musyaraka’.

Perserikatan antar pihak-pihak dimana sebagian pihak (disebut Pemilik Harta atau shahibul maal atau rab-al-maal) menyediakan modal dan berhak mendapat pembagian atas hasil usaha namun harus menanggung resiko usaha sedangkan pihak lain (disebut Pemilik Usaha atau Mudharib) melaksanakan kegiatan usaha menurut kesepakatan dan berhak mendapat pembagian atas hasil usaha yang positif saja. Perserikatan ini lazimnya berbentuk ‘Mudharaba’

Perserikatan antar pihak-pihak dimana sebagian pihak yang memiliki modal atau harta (Pemilik Modal/Harta) menyerahkan kepada pihak lain (Pemberi Jasa) untuk bertindak atas nama Pemilik Modal/Harta tersebut melakukan suatu kegiatan usaha atau mengelola modal/harta yang diserahkan oleh Pemilik Modal/Harta tersebut. Semua hasil kegiatan usaha atau pengelolaan (positif atau negatif) adalah hak Pemilik Modal/Harta, sedangkan pihak Pemberi Jasa berhak untuk mendapatkan imbal jasa baik yang bernilai tetap, merupakan prosentase dari nilai Modal/Harta, maupun kombinasi nilai tetap dan prosentase pertambahan nilai Modal/Harta. Perserikatan ini lazimnya berbentuk ‘Wakala’.

 Jelaslah bahwa dalam Islam, badan hukum atau perusahaan adalah personifikasi dari para pihak yang berserikat membentuk badan hukum atau perusahaan tersebut dan beroperasi semata-mata untuk kepentingan atau maksud dari para pihak tersebut. Sehingga bila badan hukum atau perusahaan tersebut ingin mengikuti Syariah Islam, maka badan hukum atau perusahaan tersebut juga harus mengkuti tata nilai berusaha yang sesuai dengan Syariah Islam adalah sebagai berikut:

 Melakukan Usaha adalah semata-mata untuk mendapatkan hasil yang Halal dan Baik (thoyib) yang dapat diperoleh hanya melalui Perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat. Obyek transaksi harus barang dan jasa yang halal, sehingga barang dan jasa yang haram tidak boleh menjadi obyek transaksi sedangkan barang dan jasa yang subhat sebaiknya dihindari. 

Memakai uang dalam transaksi semata-mata sebagai Alat Tukar Nilai sehingga uang tidak dapat menjadi obyek perniagaan (komoditi). Akibatnya tidak boleh mencari keuntungan akibat penguasaan (pemilikan sementara) dari uang, termasuk mencari keuntungan dari perubahan nilai tukar valuta.

Berlaku adil terhadap pihak-pihak (counterparties) dalam bertransaksi dengan menghindari kondisi memungkinkan Keraguan yg Menipu. Akibatnya badan hukum atau perusahaan harus mengusahakan transparansi dari transaksi.

Berlaku adil dalam mengelola usaha dengan melaksanakan Praktek Terbaik dalam Pengelolaan (corporate governance).

Berlaku adil kepada pihak Pemilik Modal/Harta dengan menjalankan kegiatan usaha mengikuti Prinsip Kehati-hatian (prudential management), termasuk dalam menjaga rasio-rasio keuangan seperti rasio hutang terhadap modal, rasio piutang terhadap pendapatan/penjualan, rasio persediaan dll.

Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.

Bekerjasama dalam menjalankan usaha untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan bagi semua pihak, bukan semata-mata mengejar manfaat yang maksimal bagi badan usaha atau perusahaan itu sendiri.

Tidak ada komentar: