PERUSAHAAN DALAM SISTIM
EKONOMI SYARIAH
Menurut Islam, kepemilikan atas sumber daya adalah
bersifat sementara dan merupakan amanat dari Allah SWT. Amanat ini diberikan
dalam status manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Bukan hanya
kepemilikan atas sumber daya yang bersifat sementara, bahkan keuntungan yang
diperoleh seseorang tidaklah selalu menjadi rezeki (hak) dari orang yang diberi
kepemilikan tersebut.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun menyatakan :”Keuntungan
adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, namun keuntungan juga bisa datang
tidak dengan usaha sebagaimana hujan menumbuhkan tanaman, dan lain sebagainya.
Keuntungan akan merupakan penghidupan bila sesuai dengan kadar kepentingan dan
kebutuhan manusia yang memperolehnya. Keuntungan akan merupakan ‘akumulasi
modal’ bila ia lebih dari kadar kebutuhannya. Keuntungan (baik yang tergolong
penghidupan maupun akumulasi modal) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
(masa kini maupun masa mendatang) disebut rezeki, sedangkan kelebihan dari
keuntungan yang tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan (sehingga mubazir)
adalah bukan rezeki.”
Menurut Islam, kegiatan produksi dalam memanfaatkan
sumber daya untuk memberikan hasil produksi yang berguna untuk memenuhi
haruslah berbasis pada pemanfaatan yang berkesinambungan dari sumber daya
tersebut. Dalam hal ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa: “Pertanian adalah dasar
(pelopor) bagi penghidupan karena yang paling sesuai dengan alam. Pertukangan
adalah penghidupan yang kedua karena timbul dari hasil pikiran dan keahlian
manusia. Perdagangan adalah termasuk cara penghidupan yang wajar karena ia
berusaha menghubungkan antara hasil dan kebutuhan dengan mengambil keuntungan
dari perbedaan antara harga pembelian dan penjualan. Jasa pelayanan bukanlah
termasuk jalan penghidupan yang wajar dan alami, tetapi ia dibutuhkan karena
ketidak mampuan sebagian dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.”
Jelaslah bahwa kebutuhan akan jasa pelayanan
timbul karena ketidak mampuan sebagian dari manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik karena secara total manusia tersebut tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya (misalnya karena cacat, atau kebutuhan makanan dan tempat
tinggal selama dalam perjalanan) ataupun karena manusia tersebut memusatkan
perhatian (fokus) pada suatu aspek kehidupan agar dapat mencapai tingkat
produksi yang optimal. Sehingga timbul defisiensi pada salah satu aspek
pemenuhan kebutuhannya yang harus dipenuhi dengan memakai jasa pihak
lain.
Tetapi disamping itu kebutuhan akan jasa pelayanan
juga timbul karena keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari
yang dapat dikerjakannya (kemewahan), walaupun untuk itu ia harus menggantinya
dengan sesuatu yang berharga. Misalnya kebutuhan untuk menikmati makanan yang
enak, perjalanan yang nyaman, tempat pertemuan yang nyaman, pakaian dengan
model yang bagus, dsb.
Karena manusia memang diperintahkan untuk saling
memanfaatkan kelebihan yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT kepada sebagian
yang lain, maka timbul kebutuhan untuk berserikat. Perserikatan tersebut
kemudian akan mengadakan transaksi dengan pihak lain sehingga perserikatan
tersebut harus menggantikan peran manusia dan oleh karenanya harus menjadi
‘badan’ yang dapat bertindak mengadakan ikatan (hukum) atau yang disebut
sebagai badan hukum. Badan hukum ini yang akan menerima manfaat (positif atau
negatif) dari transaksi yang dilakukan untuk kemudian meneruskan hasilnya
kepada pihak-pihak yang berserikat dalam badan hukum tersebut.
Pada dasarnya menurut Islam, perserikatan antar
menusia dapat dikelompokkan dalam:
Perserikatan antar pihak-pihak dimana
masing-masing memberikan modal dan tenaga serta sepakat untuk membagi tanggung
jawab dan hasil menurut ketentuan tertentu. Perserikatan ini lazimnya berbentuk
‘Musyaraka’.
Perserikatan antar pihak-pihak dimana sebagian
pihak (disebut Pemilik Harta atau shahibul maal atau rab-al-maal) menyediakan
modal dan berhak mendapat pembagian atas hasil usaha namun harus menanggung
resiko usaha sedangkan pihak lain (disebut Pemilik Usaha atau Mudharib)
melaksanakan kegiatan usaha menurut kesepakatan dan berhak mendapat pembagian
atas hasil usaha yang positif saja. Perserikatan ini lazimnya berbentuk
‘Mudharaba’
Perserikatan antar pihak-pihak dimana sebagian
pihak yang memiliki modal atau harta (Pemilik Modal/Harta) menyerahkan kepada
pihak lain (Pemberi Jasa) untuk bertindak atas nama Pemilik Modal/Harta
tersebut melakukan suatu kegiatan usaha atau mengelola modal/harta yang
diserahkan oleh Pemilik Modal/Harta tersebut. Semua hasil kegiatan usaha atau
pengelolaan (positif atau negatif) adalah hak Pemilik Modal/Harta, sedangkan
pihak Pemberi Jasa berhak untuk mendapatkan imbal jasa baik yang bernilai
tetap, merupakan prosentase dari nilai Modal/Harta, maupun kombinasi nilai
tetap dan prosentase pertambahan nilai Modal/Harta. Perserikatan ini lazimnya
berbentuk ‘Wakala’.
Jelaslah bahwa dalam Islam, badan hukum atau
perusahaan adalah personifikasi dari para pihak yang berserikat membentuk badan
hukum atau perusahaan tersebut dan beroperasi semata-mata untuk kepentingan
atau maksud dari para pihak tersebut. Sehingga bila badan hukum atau perusahaan
tersebut ingin mengikuti Syariah Islam, maka badan hukum atau perusahaan
tersebut juga harus mengkuti tata nilai berusaha yang sesuai dengan Syariah
Islam adalah sebagai berikut:
Melakukan Usaha adalah semata-mata untuk
mendapatkan hasil yang Halal dan Baik (thoyib) yang dapat diperoleh hanya
melalui Perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi
manfaat. Obyek transaksi harus barang dan jasa yang halal, sehingga barang dan
jasa yang haram tidak boleh menjadi obyek transaksi sedangkan barang dan jasa
yang subhat sebaiknya dihindari.
Memakai uang dalam transaksi semata-mata sebagai
Alat Tukar Nilai sehingga uang tidak dapat menjadi obyek perniagaan (komoditi).
Akibatnya tidak boleh mencari keuntungan akibat penguasaan (pemilikan
sementara) dari uang, termasuk mencari keuntungan dari perubahan nilai tukar
valuta.
Berlaku adil terhadap pihak-pihak (counterparties)
dalam bertransaksi dengan menghindari kondisi memungkinkan Keraguan yg Menipu. Akibatnya badan
hukum atau perusahaan harus mengusahakan transparansi dari transaksi.
Berlaku adil dalam mengelola usaha dengan
melaksanakan Praktek Terbaik dalam Pengelolaan (corporate governance).
Berlaku adil kepada pihak Pemilik Modal/Harta
dengan menjalankan kegiatan usaha mengikuti Prinsip Kehati-hatian (prudential
management), termasuk dalam menjaga rasio-rasio keuangan seperti rasio hutang
terhadap modal, rasio piutang terhadap pendapatan/penjualan, rasio persediaan
dll.
Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang
telah disepakati.
Bekerjasama dalam menjalankan usaha untuk
mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan bagi semua pihak, bukan
semata-mata mengejar manfaat yang maksimal bagi badan usaha atau perusahaan itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar